HOLOPIS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan memberikan respons atas hasil Ijtima’ Ulama MUI di Bangka Belitung pada akhir Mei lalu. Di mana Komisi Fatwa MUI mengeluarkan fatwa yang di antaranya, mengenai salam dan ucapan hari raya lintas agama.
Pada pokoknya, MUI mengharamkan salam lintas agama dan ucapan selamat hari raya lintas agama oleh umat Islam. Dalam semingguan belakangan ini, fatwa MUI tersebut menjadi perdebatan publik. Sehingga pihaknya pun merasa ada yang tidak beres dari fatwa MUI tersebut.
“SETARA Institute menyayangkan keluarnya fatwa tersebut,” kata Halili dalam keterangan tertulisnya yang diterima Holopis.com, Rabu (5/6).
Dipaparkan Halili, bahwa jika dipandang dalam konteks kebinekaan Indonesia, salam dan ucapan hari raya lintas agama merupakan bentuk dari toleransi dan ekspresi etika sosial dalam tata kebinekaan Indonesia. Sementara dalam tata kebinekaan Indonesia, salam dan ucapan hari raya lintas agama adalah pernyataan respek dan pengakuan (rekognisi) atas keberadaan yang berbeda (others/liyan).
Sehingga dengan demikian, Halili Hasan tak sependapat bahwa salam lintas agama masuk dalam konteks ritualitas keagamaan, akan tetapi ritualitas sosial yang tidak perlu diperdebatkan.
“Bukan semata-mata bentuk ibadah umat Islam dan bahkan naif jika hal itu dinilai sebagai pencampuradukan agama dan merusak akidah umat Islam,” ujarnya.
Perspektif kedua, sambung Halili, SETARA Institute menilai bahwa fatwa MUI bukanlah produk hukum yang mengikat, meskipun eksistensi MUI didasarkan pada hukum negara dan bahkan sebagian anggaran operasionalnya bersumber dari APBN dan diberikan sebagian kewenangan dalam pelaksanaan pemerintahan negara.
“Dengan demikian, fatwa MUI cukup diperlakukan sebagai pandangan keislaman dari sebuah organisasi keislaman yang muatannya tidak mengikat lembaga-lembaga negara dan pemerintahan negara dalam praktik penyelenggaraan negara,” tutur Halili.
Ketiga, Lanjut Halili, SETARA Institute memandang bahwa, dalam kenyataannya, MUI bukanlah satu-satunya organisasi keislaman yang memiliki otoritas keagamaan di Indonesia. Pandangan-pandangan keislaman yang dibutuhkan oleh umat dan/atau oleh kelembagaan negara yang penduduk mayoritasnya muslim ini dapat merujuk pada Nahdlatul Ulama’ dan Muhammadiyah dan beberapa organisasi keislaman moderat lainnya yang pandangan keislamannya lebih kompatibel dengan dan lebih memajukan toleransi dan kebinekaan Indonesia.
Keempat, SETARA Institute menilai bahwa fatwa MUI yang mengharamkan salam dan ucapan selamat hari raya lintas agama justru kontraproduktif dan bertentangan dengan inisiatif, praktik baik, dan agenda-agenda pemajuan toleransi dan penguatan kebinekaan yang dilakukan oleh pemerintah melalui Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Kementerian/Lembaga lainnya dalam bentuk program pembinaan ideologi Pancasila, moderasi beragama, pembauran kebangsaan, pemeliharaan kerukunan umat beragama, pencegahan ekstremisme kekerasan yang mengarah pada kekerasan, dan lain sebagainya.
Kelima, lanjut Halili, SETARA Institute memandang bahwa terbitnya fatwa ini menunjukkan kegagalan MUI sebagai organisasi masyarakat untuk berkontribusi dalam memelihara perdamaian dan kerukunan umat beragama.
“Undang-Undang Organisasi Masyarakat pada Pasal 5 UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, menegaskan bahwa salah satu tujuan dari Organisasi Kemasyarakatan adalah mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong dan toleransi dalam kehidupan masyarakat, serta menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa,” pungkasnya.