Jakarta – Jelang terbentuknya pemerintahan baru, sejumlah nama mencuat untuk mengisi pos-pos kementerian, termasuk Menhan.
Salah satunya adalah siapa yang akan mengisi posisi di berbagai kementerian pada kabinet yang akan datang makin ramai diperbincangkan setelah berakhirnya Pilpres 2024.
Tak terkecuali pos menteri pertahanan yang akan ditinggalkan Prabowo Subianto. Beberapa nama telah muncul dipermukaan, baik dari latar belakang militer maupun akademisi.
Pengamat militer dan pertahanan Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, penunjukan menteri pertahanan pada kabinet baru nanti mestilah sosok yang dapat diandalkan dan memiliki chemistry dengan presiden terpilih.
“Saya kira setidaknya ada dua nama yang layak dipertimbangkan. Yaitu mantan Wamenhan Sjafrie Sjamsoeddin dan Wamenhan saat ini, Herindra. Keduanya memiliki pengalaman yang memadai di sektor pertahanan dan terbilang sangat memahami visi Prabowo dalam hal pembangunan postur pertahanan,” kata Fahmi dalam keterangannya seperti dikutip dari Holopis.com, Jumat (26/7).
Selain dua tokoh berlatar belakang militer tersebut, Fahmi mencoba mengingatkan kembali bahwa pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama dua periode kepemimpinannya justru selalu menunjuk menteri pertahanan dari kalangan sipil dan akademisi.
“Yaitu Profesor Juwono Sudarsono dan Profesor Purnomo Yusgiantoro. Pada masanya masing-masing, mereka berdua bisa dibilang berhasil memimpin kementerian yang sebagian besar urusan dan personelnya adalah militer,” ujar Fahmi.
Untuk itu, sebagai sosok alternatif, Fahmi menilai Guru Besar Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Profesor Hikmahanto Juwana layak dipertimbangkan sebagai kandidat sipil untuk Menhan mendatang.
“Secara keilmuan, beliau punya adalah guru besar hukum internasional yang sangat concern pada isu pertahanan, kawasan dan geostrategis. Beliau juga memiliki interaksi yang panjang dengan lingkaran militer,” ucap Fahmi.
Tantangan Menteri Pertahanan yang Baru
Jika nanti presiden telah menunjuk menteri pertahanan yang baru, pekerjaan rumah telah menanti, terlebih dalam upaya pemenuhan kekuatan pertahanan Indonesia yang selama ini dikerjakan Prabowo.
“Tahun ini, adalah tahun terakhir MEF (minimum essential force) sebagai skema pemenuhan kekuatan pertahanan nasional. Menhan baru harus concern pada skema lanjutan MEF dengan berbasis visi presiden dan praktik-praktik baik yang sudah dijalankan Menhan saat ini,” jelas Fahmi.
Dalam waktu singkat, Menhan baru juga harus mengatasi kesenjangan antara kekuatan faktual dan kekuatan yang dibutuhkan dalam rangka menegakkan kedaulatan dan keutuhan wilayah. Termasuk juga bagaimana mengoptimalkan pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara, karena bagaimanapun pembangunan kekuatan pertahanan bukan hanya berkaitan dengan komponen utamanya yaitu TNI namun juga soal penguatan komponen cadangan dan komponen pendukung.
“Selain itu, kolaborasi dengan Kementerian BUMN dalam rangka penguatan industri pertahanan juga harus terus dilakukan. UU No. 16 tahun 2012 tentang Industri Pertahanan harus menjadi acuan pokok, yang artinya mekanisme KKIP harus benar-benar dijalankan agar semua aspek, mulai dari aspek politik hingga bisnis dapat berjalan selaras dan prinsip-prinsip akuntabilitasnya terpenuhi,” beber Fahmi.